Tanggal 1 Mei 2023 menjadi aksi buruh yang berbeda. Tuntutan jelas pada spanduk-spanduk yang dibawa saat long march sebab protes mereka atas Perpu Ciptaker No. 2 2022 yang sedang diperjuangkan kelompok buruh progresif untuk dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dengan tuntutan proses yang dinilai cacat formil (tidak demokratis).
Perppu cipta kerja No. 6 tahun 2023 adalah salah satu produk hukum yang termasuk dalam pembentukan hukum melalui metode omnibus. Perppu cipta kerja No. 2 tahun 2022 tentang cipta kerja yang sebelumnya dianggap cacat formil (melalui gugatan), telah ditetapkan oleh mahkamah konstitusi melalui putusan nomor 54/PUU-XXI/2023 dengan hasil keputusan seluruh gugatan ditolak karena proses pembuatan tidak melanggar UUD 1945.
Perppu cipta kerja, disikapi oleh salah satu serikat buruh Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Seluruh Indonesia (KASBI) sebagai hari kemenangan oligarki nasional pada tanggal 2 Oktober 2023 via Instagram . Protes yang datang dari Masyarakat khususnya dari serikat buruh ialah dari sistem pengupahan, alih daya, dan melanggengkan sistem kontrak pekerja (PKWT/PKWTT). Dari tuntutan serikat buruh progresif sangat jelas bahwa mereka menolak dilanggenkannya sistem kontrak karena hal demikian dinilai tidak mengimplementasikan kesejahteraan, kelanjutan, dan kepastian Masyarakat dalam hal ekonomi sesuai dengan UUD 1945. (UPAYA MASYARAKAT/BURUH)
Tuntutan dari buruh, diantara lain:
1. Upah Minimum (Pasal 88, 88C)
a. Dalam naskah akademik disebutkan bahwa tujuan dari UU Cipta Kerja diantaranya adalah mengubah sistem pengupahan yang sebelumnya ada di UU No. 13 tahun 2015 tentang ketenagakerjaan yang diubah menjadi UU Cipta Kerja. Buruh mengatakan bahwasannya tidak ada perubahan signifikan dari peraturan sebelumnya, Said Iqbal memberikan analogi “bila ingin perekonomian ingin bertumbuh maka harus dibenahi dari kelompok kelas sosial yang dominan yaitu buruh, jika buruh memiliki upah rendah maka daya belipun akan turun secara nasional”. Dalam UU Cipta Kerja gubernur dapat mengatur kenaikan atau penurunan upah, namun buruh memprotes karena hal tersebut tidak ditulis dalam Perppu Cipta Kerja 2023 upah didasarkan pada satuan kerja/satuan waktu dan tidak menghitung Komponen Hidup Layak , tetapi dikatakan pada pasal 88C ayat (2) dan ayat (3) dikatakan buruh penetapan upahnya disesuaikan oleh Gubernur. Hal demikian dinyatakan kabur atau tidak jelas sebab upah haruslah dinilai melalui KHL yang berdasarkan pertumbuhan ekonomi nasional, inflasi, dan indeks pertumbuhan ekonomi.
2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pasal 151
a. Buruh menganggap peraturan tentang PHK yang hanya melalui proses perundingan bipartit adalah perundingan yang merugikan buruh, sebab perundingan PHK harus menerapkan peran penting proses peradilan
3. Sistem alih daya/outsourcing (Pasal 66)
a. Sistem alih daya secara subtantif tidak memberikan kepastiann kesejahteraan para pekerja, dan pasal tersebut tidak menjelaskan secara komprehensif batasan pekerjaan alih daya. (Core/Non-core)
Serikat buruh yang ada pada barisan progresif juga memiliki sikap demikian, mereka menilai muatan materill dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya dianggap cacat formil sesuai keputusan mahkamah konstitusi melalui putusan nomor 91/PUU/-XVIII/2020 dengan keputusan inkonstitusional bersyarat dan deberi jangka waktu 2 tahun untuk uji legislasi dengan alasan bahwa produk hukum a quo bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22 jo. UU No. 15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan .
UU Cipta kerja yang sudah berlaku melalui proses omnibus bertujuan memperluas lapangan pekerjaan. Sebagaimana yang dimaksud memperluas lapangan pekerjaan yaitu dengan cara mempermudah ekosistem investasi. Dalam naskah akademik perlu Kembali tinjau lebih jauh dari landasan sosiologis, landasan yuridis, dan filosofis. Pada BAB IV naskah akademik dikatakan bahwasannya UU Cipta kerja merupakan Upaya strategis negara untuk meningkatkan kualitas SDM dengan membuka lapangan pekerjaan karena adanya “keramahan ekosistem investasi” dampak adanyanya surplus populasi .
Naskah akademik sebagai dasar kerangka teoritis terbentuknya UU Cipta kerja di latar belakang dikatakan “Berdasarkan Visi Indonesia 2045, Indonesia berkehendak untuk menjadi 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia dengan menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2040”. Cara untuk tercapainya tujuan tersebut melalui UU Cipta kerja di asumsikan dengan cara menciptakan kebijakan yang fokus pada perluasan produksi di sektor industri (manufaktur & konstruksi).
Dalam naskah akademik dapat dilihat ada 2 (dua) teori dominan yang ingin di “goal”kan oleh pemerintah. Pertama, adanya kerangka teori Law and Development Doctrine, dan Economic Analysis of Law. Karena adanya naskah akademik ini dapat dipahami bahwa UU Cipta Kerja sebagai instrumen (hukum) untuk menumpukan usaha pada kemampuan kalkulabilitas dari sistem hukum itu sendiri.
Melalui UU No. 6 Tahun 2023 tentang cipta kerja yang telah melahirkan Perppu No. 6 tahun 2023 ini, telah merepresentasikan negara sebagai entitas material dari corak produksi Masyarakat yang menopang supra struktur seperti budaya, hukum, politik, dan ihwal non ekonomi lainnya. Lahirnya produk hukum ini, tidak dapat dipisahkan dilihat dengan menggunakan “pisau analisis” relasi kuasa ekonomi-politik di Indonesia.
Indonesia yang digadang-gadang menjadi negara maju di tahun 2045 sebab memiliki bonus demografi, dipredeksi hanya menjadi hayalan belaka jika serapan tenaga kerja tidak seimbang dengan jumlah populasi yang tidak memiliki pekerjaan. Hal ini disebut juga sebagai tentara pekerja cadangan atau surplus populasi relatif.
Indonesia sebagai penganut aliran legisme, justru menggunakan hukum sebagai rekayasa sosial sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound seorang tokoh mazhab sociolegal jurisprudence “law as a tool of social engineering”. Dari proses pembuatannya yang cenderung terburu-buru saat pandemi, proses legislasi justru mencederai asas ketebukaan pada saat pembentukan undang-undang sapu jagat tersebut. Mengingat juga asas keterbukaan adalah keterlibatan publik yang mana juga merupakan prinsip dasar Good Governance.
Dengan demikian, kritik secara akademis pada UU Cipta Kerja yang melahirkan Perppu ini bukan adalah bagian kritik dari proses hukum dan tentu saja secara fundamental kritik untuk kapitalisme karena cukup terlihat kuat relasi kuasa ekonomi-politik dalam proses pembuatannya dan implikasi hukumnya yang timpang keberpihakan antara kelas pekerja dengan kaum borjuis atau pemilik kapital. Penolakan pada omnibus law khususnya klister ketenagakerjaan harus membawa agenda yang melihat produk hukum ini secara radikal dan melakukan Langkah taktis Gerakan rakyat yang progresif, bukan agenda kelompok oportunis.
Secara radikal, pemerintah sungguh jauh menerapkan prinsip keadilan untuk hak Masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan secara manusiawi sesuai pasal 27 UUD 1945 secara praktik. Seperti halnya pada Pasal 77 ayat 3, ayat 4 & ayat 5 UU No. 6 tahun 2023 tentang penetapan perppu No. 22 tahun 2022 tentang jam kerja, jam kerja disebutkan tidak berlaku bagi usaha tertentu. Hal tersebut secara ekplisit mendikotomikan buruh satu dengan lainnya yang dapat diinterpretasikan tidak jelas secara hukum.