Oleh Ainur Rifqi Alhamdani Rahmat - Ketua BEM UMM
Setelah tenggelam, kini Peraturan Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi nomor 55 tahun 2018 mencuat kembali ke permukaan dinamika kemahasiswaan. Beberapa Organisasi Kepemudaan (OKP) di berbagai kota kembali membuka forum-forum diskusi publik terkait ini. Kajian dilakukan mengenai urgensi hingga format penerapan UKM PIB yang menjadi output dari peraturan yang “katanya” kado Hari Sumpah Pemuda 2018. Sementara itu, kampus masih kebingungan dalam mencerna butir output peraturan baru yang secara tidak langsung menggugurkan SK tahun 2002 terkait pelarangan organisasi ekstra masuk ke dalam kampus. Dikarenakan belum tersebarnya dokumen resmi, walau sudah tersebar secara cepat salinan draft yang berisi 6 pasal itu lewat media sosial.
Ibarat koin dengan dua sisi, pun demikian dengan peraturan ini. Bagi OKP ataupun Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) tentu ini menjadi angin segar dibolehkannya melakukan aktivitas di dalam kampus, walaupun harus berseragamkan UKM. Namun, penjelasan lanjut dari Bapak Muhamad Nasir terkait pelarangan lambang dan atribut organisasi ekstra dalam kampus menjadi tanda bahwa SK 2002 tidak gugur seutuhnya. Sebagai sesama organisasi perkaderan, sudah menjadi rahasia umum bahwa telah terjadi konflik kepentingan antar organisasi mahasiswa ekstra tiap kali datang tahun ajaran baru. Jadi, bisakah UKM PIB tempat bersatunya perwakilan tiap organisasi ekstra dapat efektif tanpa memandang adanya konflik kepentingan tersebut ? Apalagi jika dibenturkan pada konflik ideologi atau pemikiran, tentu akan semakin terjadi dinamika didalamnya. Kecuali, jika memang ada upaya tafsir tunggal ideologi bangsa yang sudah disusun oleh Pemerintah, mungkin akan memudahkan jalannya organisasi UKM PIB, dengan catatan bahwa demokrasi berjalan mundur kembali menuju otoritarian.
Bagi kampus, peraturan baru ini mengundang banyak tanya baik dari sisi latar belakang hingga penerapan secara teknisnya. Seperti dilansir dalam berbagai media, Muhammad Nasir menyebutkan bahwa salah satu latar belakang dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menangkal bahaya radikalisme. Pemerintah menggunakan acuan survey oleh Alvara Research Center dan Mata Air Foundation yang menyebutkan bahwa 19,6% dari 1800 responden yang terdiri dari mahasiswa di 25 Perguruan Tinggi di Indonesia. Tentu metodologi penelitian pun jadi bahan panas yang bisa diperdebatkan, apalagi birokrasi kampus pasti sangatlah paham dalam bab ini. Acuan format penerapan peraturan juga belum ada kejelasan dari pemerintah, belum lagi masalah pada pendanaan dan resiko gesekan dengan organisasi intra kampus sebagai dampak dari adanya UKM PIB. Semua variabel diatas tentu menjadi beragam alasan rasional yang menyebabkan peraturan ini masih di langit belum membumi, masih di teks belum ber-konteks.
Secara garis besar, enam pasal memiliki makna positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibalik makna positif, ternyata masih tersimpan beragam pertanyaan akan berbagai unsur yang multi tafsir. Terbukti, peraturan ini masih menjadi barang di warung kopi untuk didiskusikan hingga 3 bulan setelah diundangkan.
Sebagai usulan, ada tiga tahapan yang seharusnya dapat dilakukan dalam upaya penerapan peraturan ini sebagai wujud “kepatuhan” dan rasa untuk “menghargai” apa yang telah diupayakan oleh Kemenristekdikti, terlepas dari faktor dorongan eksternal terhadap keluarnya peraturan ini. Pertama, analisa potensi radikalisme dalam kampus. Kedua, analisa program atau kebijakan kampus dalam usaha membina ideologi bangsa. Ketiga, analisa dan musyawarah bentuk UKM PIB yang tepat sesuai kondisi kampus. Tahapan ini muncul berdasarkan kata “dapat” pada pasal 2 yang multi tafsir dan bermakna adanya hak otonom hingga menyebabkan tarik ulur antara organisasi kemahasiswaan ekstra dan birokrasi kampus.
Pertama, analisa potensi radikalisme dalam kampus dilakukan sebagai upaya mampu membedakan antara generalisasi dan stereotip. Menyatakan adanya bahaya radikalisme dalam kehidupan kampus adalah generalisasi, pernyataan ini bisa jadi betul karena berdasarkan hasil riset penelitian yang berhubungan dengan statistika yang bermakna kemungkinan terbesar berdasarkan fakta yang diamati. Namun, menyatakan kampus A atau kampus B terpapar radikalisme tanpa adanya suatu riset atau analisa khusus dalam kampus tersebut adalah stereotip. Stereotip bukan berbicara tentang prediksi, tapi kesimpulan dan prasangka untuk menghakimi sejak awal. Oleh karenanya, dibutuhkan analisa khusus di tiap kampus berkaitan adanya potensi radikalisme untuk mengetahui keberadaan beserta sumbernya.
Kedua, analisa program atau kebijakan kampus dalam usaha membina ideologi bangsa. Setelah mengetahui potensi beserta sumbernya, analisa apa yang telah dilakukan kampus berkaitan efektifitas menangkal potensi beserta sumbernya. Jika memang potensi tidak ada, atau ada potensi radikalisme dengan disertai beragam program kampus yang memang telah efektif dalam menangkal bahaya radikalisme dan membina ideologi bangsa, maka kata “dapat” untuk membentuk UKM PIB lebih berkemungkinan kecil untuk diterapkan. Sebaliknya, jika potensi radikalisme memang ada di dalam kampus tersebut, sedangkan birokrasi kampus belum mampu menangkal dan membina ideologi bangsa bagi mahasiswanya, barulah kata “dapat” pada pasal 2 memiliki potensi berkemungkinan lebih besar untuk diterapkan dalam bentuk UKM PIB.
Ketiga, analisa dan musyawarah bentuk UKM PIB yang tepat sesuai kondisi kampus. Berdasarkan pengetahuan akan potensi beserta sumbernya, serta celah berbagai program kampus yang belum mampu menangkal bahaya radikalisme dan membina ideologi bangsa, maka perlu sekiranya jajaran birokrasi kampus duduk bersama dengan perwakilan organisasi ekstra untuk merumuskan bentuk, arah, dan program dari UKM PIB. Hal ini dilakukan berdasarkan pencegahan dari adanya berbagai konflik, baik dari segi perkaderan hingga ideologi atau pemikiran masing-masing organisasi kemahasiswaan ekstra kampus.
Sebagai penutup, ideologi bangsa akan terbina dengan sendirinya jika setiap diri bangsa, baik individu maupun organisasi dapat bersinergi, berkarya, dan berbakti dengan menjunjung tinggi kepentingan bangsa sembari mengubur sedalam-dalamnya kepentingan sektoral. Mari bergotong royong !