Tanggal 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan karena berawal dari peristiwa pertempuran di Surabaya yang menjadi pertempuran pertama Indonesia dengan pasukan penjajah setelah Kemerdekaan. Pertempuran di Surabaya ini terjadi pada tanggal 10 November 1945. Tak hanya itu, pertempuran Surabaya juga menjadi salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Hari Pahlawan memiliki latar belakang sejarah yang amat mendalam bagi perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, khususnya arek-arek Surabaya.
Sejarah singkat peristiwa 10 November tercantum dalam Pedoman Hari Pahlawan Tahun 2022 yang diterbitkan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI). Hari Pahlawan bermula dari pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Pertempuran tersebut terjadi antara pasukan Indonesia melawan pasukan Inggris usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Momentum 10 November itu adalah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Peristiwa 10 November secara singkat banyak dicari jelang peringatan Hari Pahlawan. Momentum bersejarah itu menjadi latar belakang Hari Pahlawan setiap tahun. Sempat Terjadi Gencatan Senjata Dalam peperangan tersebut, pihak Indonesia dan pihak Inggris sempat menandatangani gencatan senjata pada 29 Oktober 1945. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gencatan senjata adalah penghentian tembak-menembak dalam perang. Namun yang akan menjadi topik utama dalam kajian ini yaitu membelah kembali seluk beluk di balik sejarah hari pahlawan yang di tetapkan 10 November.
Tantangan Sejarah lahirnya hari pahlawan
Sejarah singkat peringatan Hari Pahlawan di Indonesia berawal dari pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan Inggris yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur pada 27 Oktober sampai 20 November 1945. situasi pemerintahan Indonesia masih belum stabil, meski sudah mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun, kekalahan Jepang di Perang Dunia II membuat Inggris kembali datang ke Tanah Air untuk memulangkan para tentara Negeri Sakura pada 25 September 1945. Pasukan Inggris yang tiba di Indonesia kemudian bergabung dengan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang merupakan pasukan gabungan dari pihak Sekutu yang bertujuan menyingkirkan segala kekuasaan Jepang di Indonesia. Belanda juga tergabung dalam AFNEI. Diam-diam Belanda ingin mengambil alih kekuasaan di Indonesia, Hal ini memantik kemarahan rakyat Indonesia, khususnya yang berdomisili di Surabaya. Sebab, rencana Belanda ini dianggap melecehkan Indonesia yang telah merdeka. Pada 27 Oktober 1945, perwakilan Indonesia mengadakan perundingan dengan Belanda. Namun, akhirnya justru menimbulkan kericuhan. Dari sini, baik Indonesia dan Inggris sama-sama sepakat melakukan gencatan senjata mulai 29 Oktober 1945. Melansir situs resmi Direktorat SMP Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi, gencatan senjata semakin menjadi setelah Pimpinan Tentara Inggris untuk Jawa Timur Brigadir Jenderal Mallaby tertembak dan tewas pada 30 Oktober 1945. Inggris yang marah kemudian menunjuk Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh menjadi pengganti Mallaby. Eric Carden kemudian mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945 atau dikenal juga sebagai Surat Perintah 10 November 1945. Inggris meminta pasukan Indonesia menghentikan perlawanan serta menyerahkan diri dan senjata ke AFNEI. Inggris juga meminta para pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya datang ke tempat yang telah ditentukan pada 10 November 1945 pada pukul 06.00 WIB. Jika tidak, Inggris akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara. Namun, ultimatum itu tidak diikuti. Inggris pun melancarkan serangan ke pasukan Indonesia di Surabaya.
Pasukan Indonesia berusaha mengimbangi serangan Inggris. Pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada masa Revolusi Nasional Indonesia Sutomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo terus meneriakkan orasi pembakar semangat. Tokoh Hari Pahlawan ini terkenal dengan slogannya, yaitu 'Merdeka atau Mati'. Pertempuran itu merupakan perang pertama pasukan Indonesia melawan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menjadi pertempuran terbesar dalam Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Bahkan, Surabaya sempat dijuluki sebagai neraka karena pertempuran menimbulkan korban tewas yang sangat banyak. Tercatat, ada 20 ribu rakyat Surabaya yang menjadi korban. Sebagian besar merupakan warga sipil. Tak hanya itu, sekitar 150 ribu orang pun terpaksa mengungsi dari Surabaya kala itu. Sementara tentara Inggris yang tewas mencapai 1.600 orang. Namun pada akhirnya, Indonesia berhasil memukul mundur Inggris dan mempertahankan kemerdekaan.
SELUK BELUK SEBELUM 10 NOVEMBER 1945
Jika ditarik jauh ke belakang, munculnya peringatan Hari Pahlawan bermula dari rangkaian peperangan dalam Pertempuran Surabaya melawan Sekutu yang mencapai puncaknya pada 10 November 1945. Berikut ini kronologi sejarahnya:
31 Agustus 1945
Tanggal 31 Agustus 1945 atau kurang lebih setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah menyerukan bahwa mulai 1 September 1945, bendera merah putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Maklumat Pemerintah tertanggal 31 Agustus 1945 menetapkan pekik perjuangan “Merdeka” sebagai salam nasional, berlaku mulai 1 September 1945. Caranya dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka dan bersamaan dengan itu memekikkan Merdeka. Pekik “Merdeka” menggema di mana-mana. Semboyan seperti “Sekali merdeka tetap merdeka” dan “Merdeka atau mati” juga menjadi ucapan umum para pemuda dan pejuang yang menunjukkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan, jika perlu dengan nyawa sebagai taruhannya
19 September 1945
Tonggak sejarah Hari Pahlawan diawali dari insiden Hotel Yamato di Surabaya. Peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato yang kini menjadi Hotel Majapahit terjadi pada tanggal 19 September 1945 yang didahului oleh gagalnya perundingan antara Indonesia dengan W. V. C. Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda yang dikibarkan di hotel tersebut. Insiden tersebut terjadi usai sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W. V. C. Ploegman pada malam hari tanggal 19 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda berwarna merah putih biru, tanpa persetujuan Pemerintah Indonesia Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Massa yang berkumpul kemudian mendesak agar bendera Belanda tersebut diturunkan. Soedirman yang merupakan Residen Daerah Surabaya Pemerintah Indonesia yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen atau Fuku Syuco Gunseikan yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan Indonesia, Soedirman berunding dengan Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan akhirnya memanas, Ploegman kemudian mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian antara pihak Indonesia dengan Belanda. Ploegman akhirnya tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kegagalan perundingan tersebut langsung mendobrak masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam upaya pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Peristiwa ini disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik 'Merdeka' berulang kali.
25 Oktober 1945
Rombongan pasukan Sekutu, termasuk Inggris dan Belanda yang sebelumnya telah tiba di Jakarta pada 15 September 1945, mulai memasuki Kota Surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Pasukan ini tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran untuk melucuti senjata tentara Jepang.
27-30 Oktober 1945
Perang pertama antara militer dan arek-arek Surabaya melawan pasukan Sekutu atau Inggris terjadi. Pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby, tewas dalam suatu insiden, pada 30 Oktober 1945. Posisi Mallaby sebagai pemimpin pasukan di Jawa Timur kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh yang juga Komandan Divisi 5 Inggris. Setelah insiden berdarah di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 akhirnya meletus pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara AFNEI. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan umum yang memakan banyak korban baik di militer Indonesia dan Inggris maupun sipil di pihak Indonesia. Akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan dari Presiden Sukarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata. Gencatan senjata tersebut gagal dan situasi diperburuk dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, yang berakibat pada dikeluarkannya ultimatum 10 November oleh pihak Inggris dan akhirnya terjadilah Pertempuran di Surabaya yang terbesar dan terberat dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia. Guna mengenang pertempuran terbesar di Surabaya tersebut, tanggal 10 November akhirnya ditetapkan menjadi Hari Pahlawan.
9 November 1945
Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Isinya antara lain bahwa: Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri. Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris. Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
10 November 1945
Para pemimpin perjuangan, arek-arek Surabaya, dan segenap rakyat tidak mengindahkan ancaman Inggris. Maka, terjadilah pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945. Pertempuran ini menelan korban nyawa hingga ribuan jiwa, Kota Surabaya pun hancur lebur. Salah satu pejuang yang berperan besar mengobarkan semangat perlawanan rakyat Surabaya dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo.
10 November hari Pahlawan
Peristiwa 10 November menjadi sejarah singkat peringatan Hari Pahlawan. Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur. Salah satu isi Keppres tersebut, yaitu menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional. Hari Pahlawan diperingati mengenang Peristiwa 10 November yang berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia, meski harus mengorbankan banyak warga sipil. Sejak saat itu, Indonesia pun memperingati Hari Pahlawan setiap 10 November. Tujuan memperingati Hari Pahlawan adalah untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan diri untuk bangsa dan negara Indonesia. Hari Pahlawan ini dimaksudkan untuk mengenang peristiwa di Surabaya yang menjadi peristiwa pertama Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, serta mengenang para pahlawan serta warga sipil yang menjadi korban pada peristiwa tersebut.
Makna Hari Pahlawan
Hingga saat ini, kita masih memperingati Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November. Tujuannya tentu saja untuk mengenang semua jasa para pahlawan Indonesia yang telah berjuang dan mengorbankan diri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagai generasi muda, kita harus terus menjaga dan meyakini makna dari Hari Pahlawan ini, yaitu untuk terus semangat berjuang dan membangun Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Kini, setelah 77 tahun peristiwa pertempuran di Surabaya, rasanya perjuangan pahlawan belum usai. Kini para pahlawan itu bukan berperang menggunakan bambu runcing dan senjata rampasan. Mari, kita merefleksikan dengan realita di kehidupan sekarang ini.
Nilai-Nilai yang harus tetap terjaga
Dalam menghadapi arus globalisasi saat ini, Hari Pahlawan dapat menjadi momentum untuk memperkuat nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. beberapa cara yang dapat diterapkan pada kondisi Indonesia saat ini untuk memperkuat nilai-nilai kepahlawanan dalam arus globalisasi saat ini:
Menerapkan sikap dan perilaku Bela Negara: Bela Negara adalah tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang dilandasi oleh kecintaan terhadap tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Penerapan sikap dan perilaku Bela Negara dapat dilakukan dengan cara memperkuat rasa cinta tanah air dan kesadaran berbangsa dan bernegara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Regenerasi Pahlawan : Indonesia memerlukan pahlawan baru, sosok yang berdedikasi dan berprestasi pada bidangnya untuk memajukan negeri. Pemerintah dapat memberikan dukungan dan fasilitas yang memadai untuk menciptakan pahlawan-pahlawan baru di masa depan. Seperti halnya memperkuat system Pendidikan dan mendukung penuh para siswa dan mahasiwa dalam pendidkannya seperti contoh memberikan beasiswa dan memberikan system Pendidikan yang baik.
Menyelesaikan konflik pluralitas etnik dengan bijak dan berhati nurani: Konflik antar etnis di Indonesia harus segera diselesaikan dan harus sudah ada solusi konkritnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan komunikasi dan mediasi dengan para warganya dan memberikan penyuluhan-penyuluhan sosial tentang berbagai nilai-nilai kepahlawanan.
Dengan menerapkan beberapa cara di atas, diharapkan dapat membantu memperkuat kondisi Indonesia saat ini dan memperkuat nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari dalam menghadapi arus globalisasi saat ini.
Regenerasi Pahlawan masa kini
Bagi generasi milenial, pahlawan mungkin dapat dipersepsikan sebagai mereka yang dapat memberi perubahan ke arah lebih baik di masyarakat atau mereka yang dapat membawa pengaruh positif bahkan menciptakan inovasi-inovasi untuk kehidupan.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tahun 2019, ada beberapa aspek penilaian yang menjadi batu pijakan untuk melihat bagaimana kaum milenial memandang pahlawan. Untuk memahami bagaimana milenial memandang makna pahlawan, ada 3 latar belakang yang perlu dilihat terlebih dahulu, yaitu: Pertama, Persoalan bangsa yang paling membutuhkan sikap kepahlawanan. Ada berbagai persoalan bangsa yang sangat membutuhkan hadirnya pahlawan di Indonesia. Kaum milenial menganggap penegakan hukum sebanyak 36,2 persen sebagai persoalan terbesar. Persoalan berikutnya adalah pluralisme dan toleransi sebanyak 24,4 persen, pemberantasan korupsi sebanyak 23,2 persen, kedaulatan ekonomi sebanyak 5,2 persen, dan penanggulangan narkoba sebanyak 3,7 persen. Kedua, Kriteria paling tepat untuk mengukur kepahlawanan di masa kini. Sebanyak 26,6 persen milenial mengaku bahwa kriteria untuk mengukur kepahlawanan adalah kemampuan dalam mempertahankan kesatuan bangsa. Di bawahnya secara berturut-turut dijawab dengan adanya keberanian dalam menegakan keadilan dan kebenaran sebanyak 24,9 persen, berprestasi dan berguna bagi banyak orang 21 persen, dan berani berkorban untuk kepentingan umum sebanyak 18,1 persen. Ketiga, Sosok yang paling tepat untuk menggambarkan pahlawan masa kini. Bagi Milenial, sosok yang paling tepat untuk menggambarkan pahlawan adalah sosok yang kreatif dan inovatif di bidang teknologi informasi sebanyak 32,8 persen, entrepreneur yang menciptakan banyak lapangan pekerjaan sebanyak 11,5 persen, ilmuwan sebanyak 11,5 persen, pekerja seni dan budaya yang mengharumkan nama bangsa sebanyak 11,3 persen, tokoh agama atau spiritual sebanyak 7,6 persen, dan para atlet yang mengharumkan nama bangsa di panggung internasional sebanyak 59 persen.
Setelah melihat hasil dari jajak pendapat Litbang Kompas di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pahlawan dalam perspektif milenial adalah orang-orang yang rela berjuang dalam penegakan hukum, orang-orang yang menguasai teknologi digital, para inovator yang menelurkan gagasan dan produk berkualitas demi Indonesia, serta para tokoh masyarakat, atlet dan pengusaha yang memiliki kemampuan dalam menjaga kesatuan bangsa, mengharumkan nama bangsa, serta mampu mendorong peningkatan ekonomi masyarakat.