Kebebasan berpendapat tentunya harus dijamin dan tetap bisa terjaga tanpa adanya intervensi dan pengaruh dari pihak manapun, demi terjaminnya sebuah sistem demokrasi. Belakangan ini masyarakat merasakan adanya pembatasan berekspresi baik melalui media sosial ataupun secara langsung, hal itu disebabkan karena adanya pasal karet yang ada dalam UU ITE yang dijadikan sebagai sebuah ancaman bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan.
Akhir-akhir ini juga mulai terdengar adanya untuk merevisi UU ITE, karena disebabkan banyaknya masyarakat yang merasa kebebasan berekspresi nya dibatasi dan banyak demonstrasi dimana-mana yang menuntut untuk adanya perubahan terkait dengan pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. Tentunya menanggapi akan hal itu, pemerintah harus bertindak cepat dan sigap karena pada suatu adagium hukum ada bahwa Vox Populi, Vox Dei yang bermakna bahwa suara rakyat adalah suara tuhan.
Menindaklanjuti dari adanya untuk revisi terkait dengan pasal-pasal yang ada dalam UU ITE, maka pemerintah membentuk Tim Kajian UU ITE, yang terdiri dari tiga kementrian, yaitu Kementriann Kominfo, Kementrian Polhukam, dan Kemenkumham. Tujuan dari dilakukannya hal ini adalah untuk menambah penjelasan agar ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU ITE yang dianggap multitafsir atau terdapat pasal karet tidak disalahgunakan sehingga seluruh pihak paham terakait dengan maksud dan konteks regulasi tersebut agar tidak menimbulkan kekacauan di masyarakat.
Pentingnya untuk merevisi UU ITE ini adalah untuk melindungi orang-orang yang seharusnya tidak dihukum namun justru, karena pasal-pasal karet ini mereka justru malah mendapatkan hukum dan salah sasaran. Data yang diambil dari Amnesti Internasional Indonesia, Selama awal tahun 2021 hingga pertengahan maret ada 15 kasus dan 18 korban dari UU ITE terkait dengan kebebasan berpendapat. Kasus pemidaan terhadap orang-orang yang bermain media sosial di tahun 2019 ke tahun 2020 mengalami peningkatan, tercatat pada tahun 2019 ada 24 kasus dan pada tahun 2020 ada 84 kasus, tentunya hal ini merupakan sebuah ancaman yang nyata bagi orang-orang yang bermain media sosial dan tentunya ini akan menciderai terhadap pikiran-pikiran kritik masyarakat yang kebebasan berekspresinya dibatasi akibat adanya pasal ini. Melalui revisi nantinya, diharapkan ada sebuah perbaikan sistem hukum yang berlaku dan terciptanya sebuah tujuan dari diciptakannya UU ITE itu sehingga adanya keadilan bagi seluruh warga masyarakat.
Adanya revisi UU ITE tentunya merupakan sebuah angin segar bagi masyarakat, karena selama ini kebebasan berekspresi mereka dibatasi dan selalu takut akan ancaman UU ITE yang mengintai mereka, seakan-akan menjadi sebuah bayang-bayang yang selalu menghantui. Jika nantinya wacana ini benar terealisasi dan benar-benar direvisi maka tidak hanya akan berdampak di sektor hukum, tetapi akan juga berpengaruh di sektor lain yaitu yang ikut terdampak adalah politik dan social di masyarakat, karena pada kenyatanyya kali ini UU ITE sering disalah gunakan oleh politikus dan para penguasa untuk menjatuhkan lawannya dan anti kritik sehingga bisa disebut sebagai pemimpin yang absolut yang hal itu melenceng dari tujuan awalnya dibuatnya UU ITE ini.
Dengan adanya revisi ini, diharapkan ada pemulihan demokrasi yang selama ini turun. Salah satu indikator mundur nya demokrasi Indonesia adalah terkait dengan adanya pembatasan dalam bereskpresi dan berpendapat akibat dari adanya pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE.
Adanya wacana dan isu terkait dengan UU ITE ini jangan sampai hanya sebatas alat pencitraan dari pemerintah. Wacana terakait untuk merivisi UU ITE ini muncul ditengah berbagai kritik baik dari dalam negeri maupun luar negeri, salah satu survey dari The Economist Intelligence Unit (EIU) mendapati bahwasannya indeks demokrasi Indonesia menurun, hal itu bersamaan dengan adanya berbagai kritik terkait dengan kebebasan berpendapat dari masyarakat.
Jika kita lihat, gugatan atas pencemaran nama baik menggunakanhukum pidana, hal itu tentunya merupakan sebuah kecacatan,karena pidana dapat dijatuhkan apabila yang dirugikan adalah masyarakat banyak, namun jika kita lihat pencemaran nama baik hanya beberapa dari subjek hukum yang dirugikan, tentunya hal ini merupakan ranah hukum perdata, penyalah gunaan UU ITE bisa menimbulkan efek intimidasi dan membungkam dari kebebasan berekspresi itu sendiri. Pencemaran nama baik digunakan untuk melindungi reputasi seseorang, tetapi cukup dengan delik aduan dari hukum perdata sudah cukup untuk melindungi hal itu
Aturan hukum yang tidak adil, yang hanya melindungi status quo dan membungkam penentang pemerintahan punya efek ganda membungkam kebebasan berekspresi dan menciptakan pembenaran hukum untuk membungkam “suara-suara yang tidak patut” (inconvenient voices). Didalam undang-undang tentunya ada hierarki akan hal itu, yang mana peraturan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang diatasnya, Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” UUD telah menjamin adanya kebebasan berekspresi, namun jika lihat saat ini terkait dengan diterbitkannya UU ITE yang dalam pasal-pasal tertentu menimbulkan multitafsir atau pasal karet tentunya ini tidak mencerminkan dari tujuan hukum itu sendiri yaitu, kepastian hukum dan juga bisa disebut bertentangan dengan UUD jika UU ITE ini tidak segera direvisi, maka tentunya akan menciderai dari hukum itu sendiri, diciptakannya UU ITE seharusnya bisa menjadi pelindung dan payung hukum bagi orang, bukan malah sebaliknya menjebak orang-orang yang disalahgunakan oleh orang-orang yang mempunyai kepetingan dan para penguasa yang otoriter yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, meskipun hukum menjamin adanya kebebasan berekspresi tetapi ada beberapa situasi yang harus dipatuhi yaitu jika ujaran atau ekspresi melanggar hak orang lain, mendukung kebencian dan memicu kekerasan, UU ITE perlu sebuah perbaikan demi terciptanya tujuan hukum itu sendiri sehingga mencegah orang-orang menggunakan hukum sebagai senjata untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi masyarakat.