MENGATASI STIGMA SOSIAL TERKAIT DEPRESI : PENTINGNYA PEMAHAMAN MASYARAKAT

Kamis, 23 November 2023 03:04 WIB   Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Depresi adalah gangguan mental yang umumnya ditandai dengan perasaan depresi, kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, sulit tiduratau nafsu makan berkurang, perasaan kelelahan dan kurang konsentrasi. Kondisi tersebut dapat menjadi kronis dan berulang, dan secara substansial dapat mengganggu kemampuan individu dalam menjalankan tanggung jawab sehari-hari. Di tingkat yang paling parah, depresi dapatmenyebabkan bunuh diri. 

Gejala-gejala dari depresi pada remaja sering ditandai dengan perasaan mudah tersinggung, tertekan, takut, tidak bersemangat, sedih, konflik dengan teman, dan konflik dengan keluarga. Selain itu perilaku remaja yang mengalami depresi juga berubah, jika sebelumnya remaja senang bermain dengan teman-temannya namun sekarang remaja lebih suka menyendiri atau tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan. Maka dari itu para orang tua harus lebih perhatian terhadap perubahan perubahan yang terjadi pada remaja, karena dampak dari depresi pada remaja itu seperti mudah putus asa, harga diri rendah, isolasi sosial dan jika depresi ini tidak ditangani dengan tepat serta berkelanjutan akan menimbulkan pemikiran-pemikiran negatif salah satunya ide bunuh diri.

Macam Gangguan Depresi Gangguan depresi terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Major Depressive Disorder (MDD) MDD ditandai dengan kondisi emosi sedih dan kehilangan kemampuan untuk menikmati aktivitas yang biasa dilakukan, bersama dengan minimal 4 (empat) dari gejala di bawah ini :

a) Tidur terlalu banyak (10 jam atau lebih) atau terlalu sedikit (sulit untuk tertidur, sering terbangun)

b) Kekakuan motorik

c) Kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun drastis atau sebaliknya makan berlebihan sehingga berat badan meningkat drastis.

d) Kehilangan energy, lemas, tidak bersemangat, tidak tertarik melakukan apapun. 

2. Dysthymic Disorder (Gangguan Distimik/Distimia) Merupakan gangguan depresi yang kronis. Individu yang didiagnosis mengalami distimik mengalami kondisi depresif lebih dari separuh waktu dari minimal 2 (dua) tahun. Jadi, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, separuh dari waktu tersebut individu ini mengalami kondisi depresif, minimal mengalami 2 (dua) gejala di bawah ini :

a) Kehilangan nafsu makan atau sebaliknya

b) Tidur terlalu banyak/terlalu sedikit

c) Merasa diri tidak berharg

d) Kesulitan berkonsentrasi dan mengambil keputusan

e) Merasa kehilangan harapan

Peran media dalam kesadaran dan penanganan orang yang mengalami depresi sangat signifikan. Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap kesehatan mentaldan memberikan informasi yang berguna bagi individu yang mungkin mengalami depresi. Beberapa peran utama media dalam kesadaran depresi antara lain:

1. Edukasi dan Informasi: Media dapat memberikan informasi yang akurat dan terkini tentang gejala, penyebab, serta cara-cara penanganan depresi. Artikel, siaran televisi, podcast, dan konten online lainnya dapat membantu menghilangkan stigma seputar depresi dan memberikan informasi yang berguna kepada masyarakat luas.

2. Penghapusan Stigma: Media memiliki kekuatan besar dalam mengurangi stigma terhadap gangguan mental, termasuk depresi. Dengan menyajikan cerita-cerita orang yang berhasil mengatasi depresi atau dengan menyuarakan informasi yang mendukung kepedulian terhadap kesehatan mental, media dapat membantu memecah stigma yang melingkupi masalah ini.

3. Menyediakan Sumber Daya dan Bantuan: Media dapat menyebarkan informasi tentang sumber daya dan layanan yang tersedia bagi individu yang membutuhkan bantuan dalam mengatasi depresi. Ini dapat mencakup pemberian informasi kontak untuk layanandukungan, hotlines, situs web, atau panduan sederhana untuk mencari bantuan profesional.

Terlepas dari hal-hal diatas, di Indonesia sendiri masih besar stigma yang dilabelkan kepada para gangguan jiwa di Indonesia termasuk depresi, sehingga penderita merasa terkucilkan. Stigma terbagi menjadi dua komponen yaitu stigma sosial/ dari masyarakatdan stigma pribadi/dari individu itu sendiri. Stigma sosial/publik adalah reaksi negatif atau pandangan negatif yang dilabelkan/diberikan kepada penderita gangguan jiwa. Contohnya yaitu penderita gangguan jiwa tidak diterima oleh masyarakat, dikarenakan masyarakat tersebut menganggap buruk penderita gangguan jiwa tersebut. Sedangkan, stigma pribadi atau individu adalah pemikiran buruk oleh individu penderita terhadap kondisi yang sedang ia jalani yang bisa berakibat pada menurunnya rasa percaya diri dan harga diri. Seperti contohnya, individu penderita merasa malu dan tidak berguna bagi lingkungan sekitarnya.

Maka dari itu penting dilakukan usaha untuk menurunkan stigma masyarakat terhadap penderita gangguan mental sangat penting dilakukan, dikarenakan golongan intelektual bahkan profesional terkadang juga bisa memiliki stigma sedemikian rupa terhadap penderita gangguan mental. Stigma sosial/ dari masyarakat yang kuat membuat penderita menolak diagnosa bahwa dirinya bermasalah dengan kesehatan mentalnya. Tak jarang juga bahwa penderita menolak dilakukannya pengobatan/ terapi.

Bahkan individu dengan gangguan mental dianggap sebagai aib, keluarga lebih memilih untuk menyembunyikan/ mengurung penderita tersebut, masih sering ditemui dengan cara memasung karena keluarga dan sekitar menganggap bahwa penderita tersebut dapat mengganggu bahkan membahayakan orang lain. Stigma tersebut membuat para institusi kesehatan mental sulit dalam menangani individu yang mengalami persoalan tersebut. 

Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan minimnya pengetahuan tentang kesehatan mental pada masyarakat. Selain itu juga kurang keterbukaan masyarakat terhadap kesehatan mental menjadikan masyarakat terjebak dalam perspektif mereka masing-masing. Oleh karena itu perlu kesadaran dan pengetahuan yang cukup untuk bisa terlepas dari stigma-stigma negatif mengenai kesehatan mental tersebut. Kesehatan mental sangat penting bagi masyarakat maka dari itu jangan menganggap remeh bahkan menganggap penderita gangguan mental sebagai aib.

Referensi:

Keane, M. (1990). Contemporary beliefs about mental illness among medical students:Implications for education and practice. Academic Psychiatry, 14, 172–177.

Lestari, W., Wardhani., Y. F. (2014). Stigma dan Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Beratyang Dipasung. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17(2), 157-166.

Hobson, H. L. (2008). The effects of mental health education on reducing stigma andincreasing positive attitudes toward seeking therapy. (Masters of Arts In Psychology:Counseling thesis, Humboldt State University, 2008). Humboldt Digital Scholar, HSUMaster's Theses & Projects [1422].

Shared: