Baru-baru ini terjadi kasus pelecahan dan kekerasan seksual yang berujung pada penganiayaan di Kota Malang. Kejadian yang menimpa siswi SD berusia 13 tahun bermula pada korban yang dibawa pada suatu tempat dan terjadilah pemerkosaan. Setelah kejadian tersebut istri dari pelaku mengetahui kejadian itu, kemudian istri pelaku sempat menyudutkan korban dalam kondisi tertekan, lalu korban dijemput delapan orang yang usianya sebaya yang juga rekan korban di lingkungan panti asuhan atas dasar suruhan dari istri pelaku. Korban sempat disdukankan dituduh pelakor dan lain sebagainya, lalu korban dibawa ketanah lapang di daerah Araya Kecamatan Blimbing, kemudian distitulah korbvan dipukuli hingga wajagnya berdarah tak hanya itu, para pekau pengeroyok ini juga mengambil posenl dan uang Rp 40.000 milik korban, setalah itu korban diajak berfoto bersama lalu di antar pulang ke panti asuhannya.
Hal ini merupakan tindakan yang sangat keji karena hingga saat ini siswi kelas enam SD itu mengalami depresi dan juga trauma yang dialaminya hingga membuat korban terus histeris dan tidak mau makan. Kondisi seperti ini juga diungjapkan oleh kuasa hukum korban yang mana beberapa kali korban melokal personel PPA Satreskrim Polresta Malang saat dimintai keterangan dalam hal melengkapi bukti acara dalam pemeriksaan dua kasus berbeda. Pemeriksaan sempat tertunda beberapa kali karena korban masih butuh waktu untuk mengembalikan mentalnya. Terdapat dua kasus yang dialami oleh korban, yang pertama ialah pemerkoaan dan yang kedua adalah pengeroyokan, dalam hal ini pelaku pemerkosaan sudah dewasa tetapi para pelaku pengeroyokan ini masih terbilang dibawah umur. Tetapi dalam kasus ini hukum harus ditegakkan dengan maksimal otak dari pengeroyokan juga istri daripelaku pemerkosaan, yang mana jika kasus ini tidak ditindak dengan tegas maka akan muncul kasus-kasus serupa di kemudian hari.
Kemudian dari kasus ini yang kita dapat tindak lajuti ialah percepatan pengedahan RUU PKS yang mana dalam undang-undang ini definisi kekerasan seksual pada RUU PKS jauh lebih luas dan mempu menjangkau para pelaku yang selama ini dapat lolos dari jeratan hukum hanya karena tindakan para pelaku ini tidak ada yang memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana KUHP. Keluarga korban ataupun saksi kunci dalam kasus kekerasan seksual seringkali mendapatkan ancaman bahkan juga menggunakan cara-cara kekerasan untuk membungkam kesaksian para saksi. Dan RUU ini bukan hanya untuk melindungi korban saja, tetapi juga akan memeberikan perlindungan bagi keluagra korban dan saksi yang ingin memebrikan kesaksian mereka selama proses hukum yang berlaku. Dan ini merupakan permasalahan yang utama.
Artinya dalam hal ini RUU ini bukan hanya menjadikan landasan hukum bagi para pelaku kekerasan saja tetapi juga menjadi payung hukum pelindung bagi para korban sehingga mendapat perlindungan dari negara. Hal ini merupakan sebagai bentuk langkah kongkret perlindungan kekerasan seksual seperti penanganan kasus, layanan bantuan, hingga samapai pemulihan yang dinilai pada hari ini masih lemah.
Hal lain yang perlu diretegaskan lagi iala pentingnya edukasi atau pendisdidikan terkait dengan pelecehan seksual maupun kekerasan seksual. Yaag mana hal ini juga sangat urgnet untuk diterapkan. Karena di Indonesia sendiri hal-hal terkait denga seksualitas masih sangat tabu dikalangan masyarakat. Hal ini diperlukan peran dari pemerintah dalam hal edukasi seksual, hal ini harus di sosialisasikan pada sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Hal-hal seperti inilah yang dapat mencegah terjadinya kekerasan maupun pelecahan seksual. Dan yang terpenting adalah percepatan pengesahan RUU PKS, hal ini menurut penulis ialah langkah yang kongkrit dalam hal mecegah terjadinya kekerasan maupun pelecahan seksual. Karena didalamnya sangat komperhensif dalam hal membahas kekerasan maupun pelecehan seksual.
Peran pemerintah disini seharusnya adalah menunaikan kewajibannya dalam hal memenuhi hak-hak korban berupa penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga terkait. Kemudian disini juga pemerintah berkewajiban menguatkan peran dan tanggung jawab keluarga, komunitas, masyarakat dan korporasi dalam penyelenggaraan pemenuhan hak-hak korban. (Dwiko Rynoza Nur Rachman)