Sikap Akademisi Soal Pernyataan Jokowi, Antara Distorsi Kekuasaan atau Sintesa Demokrasi

Selasa, 06 Februari 2024 01:59 WIB   Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Kita berada dalam suatu kemunduran bahwa pola demokrasi yang kurang sehat menimbulkan kita menjadi kuda yang bebas.

1. Kebijakan Distorsi atau Sintesa: Sebuah Kemunduran Demokrasi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan kalau presiden boleh berkampanye, boleh memihak. Menurut Presiden setiap orang di negara demokrasi memiliki hak politik. Presiden Jokowi menyatakan pejabat boleh berkampanye, bahkan presiden sekalipun boleh berkampanye. Hal ini menimbulkan kekeruan yang terjadi di tatanan lingkungan. 

Dengan begitu sikap jokowi kita sebut sebagai sebuah hal yang distorsi atau Sintesa dalam sebuah kekuasaan negara. Yang mana kedua kalimat tersebut menunjukan hal yang saling memberikan dampak, Di satu sisi distorsi ber arti penyimpangan kekuasaan sedangkan sintesa dalam bahasa politik artinya perspektif kebijakan yang dianggap benar.

Sehingga dengan fakta yang terjadi dengan melegitimasi dalam Pasal 299 ayat 1 UU No 7 tahun 2017 menandakan bahwa pernyataan jokowi dapat bertentangan denhan etika publik dan merusak sendi-sendi dalam bernegera. Presiden Yang kita sebut sebagai kepala pemerintahan harua bersifat netral dan tidak boleh memihak kepada siapapun, Hal ini ditunjukan bahwa tafsiran didalam UU No 7 tahun 2017 tentang pemilu bahwa Presiden dan Wakil Presiden berhak berkampanye memiliki syarat yakni seperti Cuti dan Tidak memakai fasilitas Negara.

 

2Peran Akademisi Dalam Menjaga Pitaruah Demokrasi atau Membabat Akar Rumput Distorsi

Peran akademisi sebagai manusia yang berpendidikan haruslah memberikan kebermanfaatan kepada masyarakat luas dengan berbagai metode yang dilakukan seperti transformasi publik. Dalam perseberan informasi media yang menguak pada har ini berdasarkan kasus yang terjadi, Maka peran akademisi di berbagai kampus sudah menyatakan sikap bahwa Demokrasi hari ini secara harfiah sangatlah mundur dan jauh dari kata sempurna.

Dengan gerakan guru besar dari berbagai Universitas yang mulai menyatakan sikapnya terhadap kondisi demokrasi hari ini yang dinilai mulai melenceng dari kaidahnya setidaknya mampu mengembalikan masyarakat atau mahasiswa dari rekonstruksi yang berdasar atas kejadian yang sangat tidak bugar di tatanan lingkungan.

Namun yang menjadikan antitesis dari kebijakan ini adalah berbagai tudingan yang ada bahwa adanya guru besar yang memanfaatkan kejadian tersebut sehingga disebut sebagai pendukung paslon pemilihanya. Dari kejadian tersebut kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa akar dari semua permasalahan terjadi karena kebijakan politik yang tidak sesuai dan krisis etika dalam menilai sebua kebijakan sehingga peran akademisi atau berbagai guru besar di beberapa kampus dapat bersuara terkait Demokrasi yang dinilai melenceng dari esensi harfiahnya.

 

3Negara kekuasaan Dengan Berbagai Praktik Penyelewengan Demokrasi

Negara hukum adalah bentuk bingkai terpadu yang tertera didalam Konstitusi sehingga segala kebijakan negara harus sesuai dengan amanat semangat tujuan konstitusi, Tetapi rupanya beberapa bulan belakangan ini berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan terjadi, Seperti kasus kongkrit terjadi pada bantuan sosial (bansos) yang berusaha di politisasi. Dampak politisasi terlihat bagaimana peningkatan alokasi APBN untuk perlindungan sosial pada tahun 2024 menjadi sebesar Rp 496,8 Triliun.

Hal ini mengakibatkan berbagai modus untuk mempolitisasi kebijakan tersebut sehingga kemunduran demokrasi semakin terlihat yang katanya diaebut negara hukum malah kebalik yakni Negara kekuasaan dengan haus akan kepentingan.

 

4Pemilu 2024 Kata Netralitas Sebagai Dipolitisasi atau Non Dipolitisasi?

Kondisi hari ini yang begitu mencekam, Narasi netralitas muncul di berbagai sudut paksaan dalam menyambut pemilu 2024. Netralitas itu sendiri jika ditarik dalam narasi akademisi adalah pengkritikan keterpihakan calon dari akademisi itu sendiri. Narasi netralitas hanya dijadikan tamenh dalam kekuasaan sehingga dapat mengubah sendi-sendi politik menjadi rapuh dari kaidah demokrasi itu sendiri.

 

5Pemilu Damai: Sebagai Demokrasi Ideal versus Demokrasi Pragmatis

Negara demokrasi yang memegang prinsip "Then end justice for the mind" yang artinya segala kebijakan negara ketika kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi dan Hak Asasi manusia maka kebijakan tersebut dapat dibenarkan.

Hubungan antara pemilu yang disebut sebagai pesta rakyat yang dimana rakyat berbondong-bondong memilih calon pemimpin bangsa untuk kedepanya demi menentukan massa depan bangsa yang lebih maju. Damai dalam pesta rakyat adalah manifestasi nilai yang sangat mendasar karena itu hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi maupun Hak asasi manusia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan sebanyak 278,8 juta jiwa pada 2023. Jumlah tersebut naik 1,1% dibandingkan pada tahun lalu yang sebanyak 275,7 juta jiwa. Sehingga dengan banyaknya penduduk maka perbedaan pilihan merupakan konsekuensi yang ada dalam pemilu. Sehingg untuk menciptakan pemilu yang aman, damai, sejahtera, jujur dan adil adalah

1. Mengutamakan pihak penyelanggara pemilu serta memerhatikan dengan membuat grand design pembahruan untuk menjaga pemilu berdasar asas yang tertuang dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.

2. Mengedukasi di masyarakat desa terkait pentingnya memilih cerdas untuk menentukan bangsa yang lebih cerah dan itu dilakukan oleh pihak penyelanggara publik yakni pemerintahan.

3. Meyakinkan rakyat dengan segala konsekuensi nya terhadap pemilu dan tidak boleh intervensi pemerintahan terhadap para calon eksekutif maupun legislatif.

Dengan berbagai pertimbangan sehingga yang menjadi permasalahanya adalah bagaimana kepimpinan dari jokowo itu sendiri sebagai kepala pemerintahan sehingga kebijakan yang ia buat dapat memundurkan demokrasi, Berdasarkan data dihimpin oleh BPS indeks demokrasi turun sejak tahun 2021 sampai saat ini mencapai 6,30%.

Sehinggan dengan data tersebut sudah selayaknya bahwa para akdemisi di berbagai kampus mengkritisi hal tersebut dan hal inilah disebut sebagai kebijakan yang ternilai distorsi.

 

Daftar Pustaka

1.https://www.unpad.ac.id/2022/01/dua-tahun-terakhir-demokrasi-indonesia-alami-penurunan/

2.https://indonesiabaik.id/infografis/berapa-jumlah-penduduk-indonesia-ya

3.https://www.hukumonline.com/berita/a/akademisi-htn-ugm--presiden-berkampanye-memihak-munculkan-komplikasi-hukum-lt65b87ecb5ca5a/

4.Politik Hukum di Indonesia – Mahfud MD, Rajawali Pers, Jakarta, 2016.

5.https://www.google.com/amp/s/www.cnbcindonesia.com/news/20240126173631-4-509395/simak-jokowi-klarifikasi-pernyataan-boleh-berkampanye-dan-memihak/amp

Shared: