RKUHP, DENGAN SEDERET PASAL YANG KONTROVERSI

Sabtu, 02 Juli 2022 11:14 WIB   Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber Foto: Johan Tallo/KLY

 

RKUHP: PELAN-PELAN SUARA KITA DI KEBIRI.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menjadi hal urgent untuk dilakukan sebuah perbaikan. Melihat bagaimana produk hukum pidana yang masih belum maksimal dalam pengaturan maupun penegakkannya dilapangan, maka perbaikan-perbaikan harus dilakukan. Bahkan menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM sendiri mengatakan bahwa, KUHP yang saat ini berlaku penuh dengan ketidakpastian.

Apakah RKUHP yang sekarang sudah disahkan dapat menjamin kepastian pengaturan, penegakkan maupun implemntasinya di lapangan?

Berikut pasal-pasal yang perlu untuk disoroti dan dikritisi:

  1. Pasal 218 RKUHP

Pasal ini mengenai kritik kepada Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini sangat rawan untuk disalahtafsirkan oleh aparat penegak hukum guna membungkam kritik terhadap penguasa. Bahkan sampai tahun 2021 ini, sebelum RKUHP disahkan, telah banyak pihak-pihak yang terkena kasus penghinaan kepada penguasa, padahal yang mereka kritisi adalah terkait dengan kebijakan serta kinerja aparat negara, seperti masalah Reforma Agraria dan Omnibus Law Cipta Kerja.

Berikut bunyi Pasal 218 ayat (1) RKUHP:

“Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

  1. Pasal 219 RKUHP

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".

  1. Pasal 240 RKUHP

 Dalam pasal ini menyatakan bahwa seseorang bisa diancam pidana penjara 3 tahun jika menghina pemerintah di media sosial. Pasal ini dapat berpotensi mengkriminalisasi siapapun yang melayangkan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah. Pemerintah seolah antrikritik dan kembali membangunkan masa orba.

Berikut bunyi pasal 240 RKUHP:

"Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

  1. Pasal 241 RKUHP

Ancaman hukuman 3 tahun penjara yang disebutkan dalam pasal 240 RKUHP akan dinaikkan menjadi 4 tahun, jika penghinaan yang dimaksud dilakukan di media sosial, sebagaimana bunyi draft pasal 241 RKUHP berikut ini:

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V."

  1. Pasal 273 RKUHP

Dalam pasal ini mengatur mengenai demonstasi yang akan dilakukan. Dengan adanya pasal ini juga akan menyulitkan kepada para mahasiswa maupun masyarkat yang akan melakukan aksi demonstrasi. Padahal unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dijamin oleh undang-undang.

Berikut bunyi pasal 273 RKUHP:

“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

Delik di atas berubah dari yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebab dalam UU 9/1998, domonstrasi tanpa izin cukup dikenakan dengan tindakan administrasi yaitu pembubaran. Oleh karena itu hal ini sangat berbahaya. Sebab demonstrasi yang biasa dilakukan adalah secara spontan sebagai bentuk aksi kekecewaan kepada kinerja pemerintah.

Memang benar bahwa dengan adanya RKUHP ini telah mewujudkan suatu kepastian hukum. Khususnya kepastian bagi para penguasa agar dapat berkuasa tanpa adanya suara-suara yang dapat mengancam kursi jabatannya.

Jika perubahan mengarah ke pemerintah yang antikritk sehingga dapat membatasi rakyatnya sendiri bersuara, maka Indonesia mau jadi apa?

Apakah negara kita akan kembali kemasa Orba ?

Sejak keran demokrasi terbuka pasca reformasi 1998, kebebasan berekpsresi dan mengeluarkan pendapat menjadi hal yang lumrah dan tak lagi dikebiri. Kritikan pedas yang mengarah kepada penghinaan kepala negara pun tak lagi termasuk kategori kriminal., dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap presiden. Namun sekarang, pemerintah justru menghidupkan kembali pasal tersebut. 

Berdasarkan hal tersebut maka, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (BEM UMM) menyatakan sikap sebagai berikut :

  1. Untuk menghapus pasal 218 mengenai Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden, karena hal tersebut sudah menjadi sebuah konsekuensi sebagai pemimpin. Pasal 218 ini juga sangat bertentangan dengan aturan hukum dan konstitusi yang telah dipercayakan kepada MK, karena sebelumnya pasal penghinaan terhadap presiden telah dihapuskan oleh MK. Selain itu, dari sisi aturan hukum juga sudah sangat jelas, perbedaan antara kritik dan hinaan atau fitnah. Dengan demikian, sudah sangat tidak perlu dan tidak relevan lagi pasal penghinaan presiden tersebut dihidupkan kembali. Sebab, bila tetap dihidupkan, akan menjadi senjata pemerintah untuk bersikap otoriter layaknya yang terjadi pada era sebelum reformasi.
  2. Mendesak untuk segara dipubilkasikannya draft terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, agar dapat dipelajari, dipahami, serta dikritisi secara bersama

 

 

Kementrian Politik, Hukum dan HAM BEM UMM.

Shared: