Opini - Mantan Koruptor dilarang 'nyaleg', upaya bangun demokrasi substansial

Sabtu, 08 September 2018 14:46 WIB   Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Oleh Tomi Alfarizy - Menteri Politik Hukum dan HAM BEM Universitas Muhammadiyah Malang

Sampai dengan hari ini, polemik atas terbitnya Peraturan Komisi Penyelenggaraan Pemilu (PKPU) masih menjadi perdebatan berkaitan dengan mantan koruptor yang dilarang untuk mengikuti kontestasi pemilu pada tahun 2019. Namun dilihat lebih dalam, lahirnya larangan kepada mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai Caleg pada kontestasi Pemilu 2019 tidak lepas dari apa yang termaktub pada pasal 4 poin b Undang-undang nomor 7 tahun 2018 tentang Pemilu yang dimana isinya adalah "tujuan dari penyelenggaraan Pemilu yakni untuk mewujudkan Pemilu yang Adil dan Berintegritas". Jadi apa yang dilakukan KPU melalui PKPU yang diterbitkan merupakan tanggung jawab moril dan hukum sebagai salah satu ciri dari lembaga yang independen.

Berkaitan dengan Pemilu yang Adil dan Berintegritas, dalam hal ini penulis akan menekankan pada penyelenggara yang Berintegritas, karena dari apa yang diregulasikan melalui PKPU yang dikeluarkan nampaknya integritas inilah yang coba dikejar oleh KPU dalam upaya menuju demokrasi yang substasial, sehingga cabang dari intigeritas ini akan di uji oleh tiga aspek yang tak terpisahkan dalam proses penyelenggaraan demokrasi, yakni aspek Integritas Penyelenggara, aspek Integritas peserta yang dimana dalam UU Pemilu menyebutkan yang dimaksud peserta Pemilu adalah Partai politik atau perorangan untuk calon DPD, serta aspek integritas pemilih dalam proses Pemilu.

Dalam kaitan dengan aspek Integritas Penyelenggara, hal yang terpenting dalam membangun integritas penyelenggara maka perlu melibatkan lembaga-lembaga terkait seperti KPK dan lembaga-lembaga lain sebagai upaya membangun integritas penyelenggara ataupun jabatan publik lainnya.

Namun di sisi lain, aspek integritas peseta pemilu tidak ada yang bisa menjamin, apakah partai politik yang akan bertanding pada Pemilu 2019 memiliki komitmen yang sama yakni dengan menjaga integritas diri sebagai peserta Pemilu. Maka tidak heran beberapa partai baru melakukan terobosan dengan tidak memberikan ruang kepada caleg eks koruptor untuk maju sebagai Caleg dari Partai tersebut.

Sedangkan dalam aspek integritas pemilih, realitas yang saat ini terjadi adalah politik uang seperti hal yang tak terpisahkan dalam proses demokrasi, maka tidak heran kepala daerah atau caleg mantan narapidana terpilih kembali sebagai pejabat publik. Untuk menjawab persoalan diataslah PKPU ini lahir untuk membangun Pemilu yang berintegritas.

 

PKPU dan Pembatasan HAM

Lalu yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah bolehkan hak seseorang warga negara tersebut dibatasi? Dalam Konstitusi telah jelas dipaparkan pada pasal 28J ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 19945 yang dimana isinya adalah "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Titik tekan yang ingin disampaikan melalui pasal ini adalah, dibatasinya hak politik seorang bakal calon legislative mantan koruptor ini semata-mata demi moral publik, meskipun di sisi lain yang bersangkutan mengakui seluruh kesalahanya. Pada saat yang sama di sisi lain pula dalam catatan moral publik, ia pernah mengkhianati kepercayaan publik yang ia wakili, sehingga tidak salah opini yang muncul, jika bisa memilih yang lain mengapa harus memilih mantan koruptor, meskipun yang dipilih ini pula belum tentu mampu menjalankan amanah sebaik mungkin.

Shared: