Dinamika Hukum dan Politik: Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Capres Cawapres

Rabu, 25 Oktober 2023 12:43 WIB   Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Mahkamah konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materil pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) di ruang Sidang Pleno, gedung MK, Jakarta, senin (16/10/23). Seperti halnya pasal yang digugat mengenai batas usia minimal capres dan cawapres.

Perkara pertama, yaitu, perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diwakili Giring Ganesha Djumaryo, Dea Tunggaesti, Dedek Prayudi, Anthony Winza Probowo, Danik Eka Rahmaningtyas, dan Mikhail Gorbachev Dom. Para pemohon memilih Michael, Francine Widjojo, dkk sebagai kuasa hukum.

Dalam permohonannya kepada MK, PSI meminta MK mengubah batas usia capres-cawapres dari 40 menjadi 35 tahun. Batas usia itu tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pertimbangan MK dalam Memutus Perkara

Adapun pertimbangan MK Dalam mempertimbangkan putusan mereka, MK menyebut telah merunut pengaturan syarat usia capres-cawapres sejak era kemederkaan, berakhirnya Orde Lama, dan pemilu pada masa Orde Baru. 

Selain itu, MK juga melacak risalah perdebatan dalam pembahasan perubahan UUD 1945, terutama mengenai persyaratan presiden yang tertuang dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.

Atas putusan MK ini, Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 tentang Pemilu yang dipersoalkan oleh PSI akan tetap berlaku. Pasal ini menentukan bahwa capres dan cawapres harus berusia setidaknya 40 tahun. “Dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra, saat membacakan putusan. Pun MK juga menolak dalil yang diajukan PSI bahwa batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut MK, sebagaimana diutarakan Hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan menjadi 35 tahun, syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.

Tidak cuma mengenai batas usia minimal, MK juga menolak permohonan sejumlah kepala daerah yang meminta agar setiap orang di bawah 40 tahun tetap bisa menjadi capres-cawapres asalkan pernah menjabat sebagai penyelenggara Negara (Pernah menjabat sebagai kepada daerah provinsi dan kabupaten atau kota).

Menurut MK, sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi membuka peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain berpotensi memicu kontradiksi hukum. “Melarang sekaligus membolehkan yang seseorang di bawah 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres sepanjang yang bersangkutan adalah atau pernah menjabat sebagai pejabat negara memicu kontradiksi. Sifat kontradiktif akan memicu kebingungan dan ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata MK dalam putusannya.

MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 “tidak bertentangan dengan perluakuan adil dan diskriminatif, dan tidak melanggar Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) serta 28I ayat (2) UUD 1945.

Kepentingan politik?

perkara ini disebut sebagai indikasi kuatnya kepentingan politik di belakang peraturan pemilu yang selalu berubah setiap lima tahun. Dalam permohonannya kepada MK, PSI meminta MK mengubah batas usia capres-cawapres dari 40 menjadi 35 tahun. Batas usia itu tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan ini dianggap politis karena PSI dan koalisi Prabowo Subianto disebut-sebut berniat mengusung Gibran Rakabuming yang kini berusia 36 tahun.

Sejumlah pakar hukum tata negara menilai MK tidak semestinya mengabulkan permohonan tersebut. Mereka merujuk prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang selama ini telah dijalankan MK dalam berbagai perkara pengujian undang-undang sebelumnya. Aoa bila putusan tersebut di kabulkan akan timbulnya konflik kepentingan. Dengan adanya konflik kepentingan maka daoat dikatakan hal tersebut akan menimbulkan oligarki politik.

Oligarki merupakan kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah orang, akan tetapi memiliki pengaruh besar dalam sistem pemerintahan. Oligarki merupakan tipe klasik suatu bentuk kekuasaan dalam pemerintahan. Kata oligarki berasal dari bahasa Yunani, yaitu oligoi berarti “beberapa” atau “segelintir” dan arche berarti “memerintah”

Oligarki merupakan bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang, namun untuk kepentingan beberapa orang tersebut (dalam ranah negatif). Hampir senada dengan itu, menurut Aristoteles, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya.

Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah. Pendidikan politik yang disajikan di masyarakat diringkas ke dalam materi-materi kampanye-kampanye yang gegap gempita, gaduh oleh berita bohong, menjatuhkan lawan dengan fitnah atau hoax dan sama sekali tidak mencerahkan. Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat sebagai konstituennya dianggap sebagai obyek politik semata lima tahunan yaitu mendekati rakyat ketika membutuhkan suara rakyat dalam pemilu.

Mengutip pengamat politik Airlangga pribadi Kusman yang amat menyarankan kepada putusan MK agar lebih bersikap hati hati dan bijaksana dalam mengambil putusan perkara ini, karna menurut Kusman pengajuan pemohon ini sangatlah beterkaitan dengan kepentingan politik partai untuk memajukan nama Gibran Rakabuming yang disebut akan menjadi bakal cawapres pada pilpres 2024. Untuk menyikapi persoalan ini airlangga berharap MK dapat mempertimbangkan posisinya sebagai guardian of constitution atau pelindung utama konstitusi. Menurutnya jika MK mengabulkan gugatan tersebut dapat dianggap menjadi instrument politik dari kekuasaan, terlebih Gibran merupakan anak dari presiden Jokowi. Terkait putusan MK mengenai batas usia capres serta cawapres, publik menilai nuansa politis lebih dominan dibandingkan terhadap putusan MK melakukan harmonisasi undang-undang (UU) yang ada. Konsistensi dengan konsitusi, maka hasil yang didapatkan tidak benar karena bukan wewenang dari MK membuat putusan harmonisasi dari UU pemilu. Masalah yang lebih meluas yakni ketua MK sendiri merupakan adik jokowi , jika hal ini merupakan kepentingan anak presiden aktif dengan pamanya melalui instusi MK pamanya. Perspektif teori konspiratif membenarkan dugaan ini. semestinya palu hukum tetap tegak didepan politik, namun justru patah karena kepentingan pribadi. Putusan ini dianggap bentuk menghidupkan kembali praktik nepotisme. Gugatan MK ini perlu dilakukan perlawanan oleh masyarakat indonesia, bila putusan ini dibiarkan, mengkhawatirkan akan lahir pemimpin yang dapat merugikan bangsa. Dalam ilmu hukum “Kecakapan bertindak” yakni kewenangan umum untuk melakukan tindakan hukum. Biasanya batas usia kecapakan bertindak ini 18 tahun atau jika seseorang sudah menikah dianggap cakap bertindak. Usia minimal 40 tahun bagi capres-cawapres tidak memiliki dasar yang memadai. Maka wajar jika ada warga negara indonesia di bawah 40 tahun merasa bahwa peraturan ini tidak adil dan tidak memiliki landasan konstitusional. UUD 1945 tidak secara terus terang dan tidak terbelit-belit menetapkan batasan ambang bawah usia. 

MK bukanlah lembaga pembuat hukum, melainkan sebagai verifikator ada tidaknya penyimpangan UU terhadap UUD. MK menambah memperluas kecakapan bertindak sebagai capres dan cawapres pengalaman sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu. Jika menilai ketiga hal tersebut (materi putusan, proses penanganan perkara dan nepotisme putra presiden), polemik ini bisa diselesaikan dengan pengaturan lebih detail soal nepotisme. Untuk penyempurnaan demokrasi, maka diperlukan pembaharuan detail untuk pemberantasan nepotisme sebagaimana amanat reformasi. Seperti halnya, pembatasan jabatan ketua umum partai maksimal dua periode, masa keanggotaan DPR/MPR dua periode. Larangan bagi keluarga pejabat aktif (hingga derajad ketiga) untuk memasuki institusi publik yang dikhawatirkan bisa memicu personal. Begitu juga dengan pengaturan-pengaturan anti nepotisme yang sejenis perlu disempurnakan. Pengaturan anti nepotisme lebih penting dibandingkan dengan memperpanjang polemik soal putusan MK. Polemik ini hanya akan menjadi debat kusir tanpa solusi yang tepat. 

Amar putusan

Berikut amar putusan lengkap yang dibacakan:

Mengadili

1.Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian

2.Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah"

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

MK menyatakan permohonan sebelumnya seperti yang diajukan Partai Garuda berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini. Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.

"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.

"Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun," imbuhnya. 

Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi terhadap Pasal 169 c UU Pemilu ini diajukan oleh sejumlah pihak. Mereka di antaranya Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.

Permohonan ini teregistrasi dalam perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, 90/PUU-XXI/2023, 91/PUU-XXI/2023, 92/PUU-XXI/2023, dan 105/PUU-XXI/2023. Tiga gugatan di atas sudah diputus dan ditolak.

Sedangkan gugatan dari mahasiswa UNS ini dinilai berbeda oleh MK meskipun berkaitan juga dengan Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017.

Kampanye diperbolehkan dilingkungan sekolah dan dikampus? 

 Keberadaan Mahkamah Konsitusi (MK) dalam sistem hukum indonesia dimaksudkan untuk memperkuat sistem check and balances dalam rangka mewujudkan serta menjamin demokrasi. Kampanye merupakan hak bagi segala peserta pemilu untuk menyuarakan pendapatnya berupa visi dan misi dari program yang akan dibawakan ketika terpilih. Wujud dari kampanye pemilu berdasarkan pernyataan piagam DUHAM yang memuat atas penyelenggaraan pemilu sebagai sarana penyampaian keinginan rakyat sebagai dasar kewenangan pemerintah. Secara tidak langsumg kampanye sudah dinyatakan melalui Pasal 21 ayat (3) DUHAM bahwa “ Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara”.(Didi.Nazmi.2023). Mahkamah Konsitusi (MK) mengetok putusan larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan kampanye disekolah dan kampus meski dengan berbagai aspek. 

Bayangan suram mulai terpikir. Lembaga pendidikan berkubang dalam politik praktis. Bakal ada sekolahan yang mengundang salah satu capres saja, sementara sekolahan lain mengundang capres lainnya. Sekolah satu dan sekolahan lain saling beda pilihan. Siswa-siswinya juga terdampak polarisasi pemilu 2024. Koordinator jaringan Pemantau Pendidikan (JPPI), Ubaid Matraji, mempunyai kekhawatiran yang sama. Putusan MK itu akan diprediksi bakal berdampak buruk bagi ekosistem pendidikan. Konflik kepentingan akan bersemi bagaikan jamur pada musim penghujan di bangku sekolah dan gedung perguruan tinggi.

 

 

Pengujian ketentuan larangan kampanye 

1. Merujuk PMK 

2. Pemohon untuk bisa memahami dalam menguji pertimbangan dalam putusan MK 65/PUU-XXI 2023.

3. Pakar pendidikan mengkritik putusan mk kampanye agar sekolah dan lembaga kampus untuk menggelar forum yang lebih baik daripada sekedar kampanye. 

 Pakar pendidikan mengkritik untuk dirumuskan menjaga aktivitas politik praktis kampanye di institusi pendidikan, dan dikaitkan dengan aturan KPU, Bawaslu, atau kemendikbudristekdikti, regulasi turunan diperlukan supaya marwah pendidikan tidak tercoreng oleh ulah politikus yang ingin memenangkan pemilu. Melibatkan pelajar dalam dunia politik tentu saja merupakan cara yang efektif untuk mengajarkan tentang pentingnya partisipasi dan demokrasi. 

Netralisasi Pendidikan 

 Lingkungan sekolah seharusnya menjadi tempat siswa dapat belajar dan berkembang tanpa adanya pengaruh politik yang meresahkan. Keputusan MK yang mengizinkan untuk kampanye politik di sekolah membuka pintu bagi terganggunya suasana belajar yang seharusnya bebas dari pola politik. Sekolah seharusnya menjadi wilayah netral, siswa dapat mengeksplorasi berbagai gagasan dan pandangan tanpa tekanan dari kampanye politik. Dengan membawa politik langsung pada lingkungan sekolah, berisiko mengabaikan ruang berharga untuk pengembangan pemikiran mandiri dan pemaparan pada keragaman pandangan. Pendidikan yang berkualitas memerlukan ruang yang aman bagi siswa untuk belajar, berdiskusi, dan mengembangkan pemikiran independen. Kampanye politik di lingkungan sekolah berpotensi menggangu proses belajar-mengajar. Kehadiran materi politik yang intens dapat mengalihkan perhatian siswa dari pelajaran inti dan kurikulum yang seharusnya menjadi fokus utama. Seharusnya tidak ada ruang bagi distraksi politik di dalam kelas karena ini bisa merugikan pendidikan serta pengembangan akademik siswa. 

 Risiko siswa yang memiliki pandangan berbeda, merasa terpinggirkan, atau bahkan diintimidasi dapat meningkat. Kemungkinan terbesar yang muncul dari keputusan yakni perpecahan. Ketika siswa dihadapkan kepada pandangan politik yang beragam, tanpa arahan yang baik bagaimana berdiskusi dengan baik dan hormat, lingkungan sekolah berisiko berubah menjadi medan perang tempat pandangan saling bentrok dan konflik muncul. 

Risiko penyalahgunaan politik 

Dengan diizinkan kampanye politik di sekolah, terbuka peluang besar bagi penyalahgunaan tujuan pendidikan demi keuntungan politik, partai atau kelompok tertentu dapat mencoba memanfaatkan situasi kini untuk mengiring opini dan pandangan siswa sesuai dengan kepentingan mereka dengan memberi stimulus yang kurang sesuai. Remaja kini cenderung lebih mudah terpengaruh atau terdoktrin dan kurang mampu melihat manipulasi dibalik argumen politik. Hal ini sesuai dengan teori belajar behavioristik yang dikemukakan edward thorndike. Menurutnya, belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur,dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui stimulan yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif atau respons. Putusan ini membuka pintu bagi penyusupan agenda politik ke dalam kurikulum, mengancam integritas pendidikan dan mengorbankan pembentukan karakter siswa. Setelahnya, putusan mk ini meninggalkan pertanyaan penting tentang tujuan utama pendidikan. Apakah kita ingin menghasilkan generasi yang terdidik secara holistik, mampu berpikir kritis, dan memiliki pandangan yang independen? Penting bagi kami untuk merenungkan implikasi jangka panjang dari keputusan ini. 

Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait batas usia minimal capres cawapres pada tanggal 16 Oktober 2023. Berikut adalah kesimpulan MK dalam sidang putusan batas usia capres-cawapres:

MK menolak gugatan Partai Garuda yang mengajukan agar batas usia minimal capres cawapres diturunkan menjadi 35 tahun.

MK juga menolak gugatan PSI yang mengajukan uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menetapkan batas usia minimal 35 tahun untuk calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, MK juga menolak gugatan dari tiga kepala daerah terkait batas usia minimal capres cawapres.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa batas usia minimal 40 tahun tidak bertentangan dengan UUD 1945

Dari kesimpulan MK tersebut, dapat disimpulkan bahwa MK menolak gugatan terkait batas usia minimal capres cawapres dan menyatakan bahwa batas usia minimal 40 tahun tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Memutus norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'.

 

Shared: