Beberapa hari belakangan ini terdengar lagi-lagi tindakan represif yang dilakukan oleh aparatdalam menertibkan masyarakatditengah proses pelaksanaan PPKM darurat. Ada yang membongkar paksa dagangan, ada yang mengunakan alat pemadam kebakaran untuk menyemprot gerai usaha milikpara pedagang, ada yang menyita dan mendenda para pedagang bahkan ada yang melakukan tindakan diluar naluri kemanusiaan.Lantas apakah tindakan tersebut merupakan sebuah protokoler yang wajar atau tindakan tersebut dapat dibenarkan? Lagi-lagi dalihnya hanya memberikan efek jera terhadap masyarakatatau mungkin berdalih sebagai pertahanan diri seorang aparat yang sedang menertibkan perintah dari pusat?
Sepanjang bergulirnya kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, begitu banyak catatan-catatan terkait tindak kriminal atau represifitas yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada masyarakat. Masyarakat dalam hal ini khususya ialah massa aksi demonstrasi yang di dalamnya mencakup kaum buruh, pedagang, aktivis, LSM, mahasiswa dan lain sebagainya. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)menemukan sekitar 651 tindak kekerasan yang dilakukan Kepolisian RI (Polri) sejak Juni 2020 hingga Mei 2021. Tindak kekerasan pada masyarakat sipil tersebut terjadi pada berbagai tingkatan.Dimana lebih dari setengah atau 61,3% kekerasan dilakukan kepolisian resor (Polres) yang setara dengan 399 kasus, lalu kepolisian daerah (Polda) sejumlah 135 kasus kekerasandan kepolisian sektor (Polsek) di posisi terakhir denganjumlah117 kasus kekerasan.
Apatisme aparat dalam mengedepankan nilai-nilai humanisme pada dasarnya telah melenceng dari Peraturan Kapolri No. 16 tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Masih ingat kasus yang menewaskan 2 mahasiswa pada saat demo Revisi UU KPK dan RKUHP di Kendari akhir 2019 lalu? Jika saja aparat keamanan dapat mengejawantakahkan isi dari pasal ataupun aturan tersebut dengan sebagaimana mestinya, penulis yakin hal tersebut tidak seharusnya terjadi.
Menurut Pasal 7 Peraturan Kapolri 16/2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, aparat dilarang untuk bersikap arogan dan terpancing oleh massa, melakukan tindak kekerasan di luar prosedur, melakukan pengejaran massa secara perorangan, hingga mengucapkan kata-kata kotor dan memaki pengunjuk rasa.
Tugas dari aparat yakni menciptakan ketertiban untuk kenyamanan masyarakat, namun mengapa dalam menertibkan kerap kali mengunakan kekerasan dan hal ini sungguh meresahkan. Pada dasarnya mereka diperintah untuk menertibkan TIDAK dengan kekerasan.Tapi lagi-lagi dalih ketegasan dengan kerasan digunakan sebagai langkah untuk memudahkan dalam penertiban, hal ini bisa dilihat dengan berita yang beredar dimedia, seperti penjual kopi yang melanggar PPKM lalu dijebloskan kepenjara kemudian dibotaki dan Satpol PP yang melakukan Kekerasan Terhadap Wanita Hamil di Gowa
Tercatat juga bahwa selama pandemi Covid 19 ini tindakan represif aparat semakin meningkat. Anggota Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS, Rozy Brilian menjelaskan adanya kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan. Pandemi Covid-19 dijadikan mereka sebagai tameng pembelaan dalam setiap tindakan kekerasannya. (Rozy Brilian menjelaskan dalam konferensi pers yang disiarkan melalui akun YouTube KontraS).
Bukan hanya itu saja kabar tentang tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap masyarakat sudah sering kita dengar dan hal tersebut sepertinya sudah mengakar menjadi budayadi negeri tercinta. Pada penerapan PPKM yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan dan mengendalikan laju penyebaran virus Covid-19saat ini, aparat yang bertugas dalam menjalakan tugasnya untuk menerapkan dan menegakkan kebijakan pemerintah cenderung menggunakan kekerasan untuk menindak para pelanggar, tentu hal ini tidak dibenarkan. Namun hal itu sepertinya dilupakan oleh para aparat yang bertugas dilapangan, banyak dari mereka menggunakan tindakan kekerasan entah karena kelelahan, mental atau memang sudah menjadi kebiasaan.
Sebenarnya banyak metode lain yang kerap dilakukan aparat untuk membatasi ruang gerak masyarakat, seperti halnya mengkriminalisasi dengan cara menangkap, kemudian ada juga dengan pembububaran menggunakan water canon, penembakan gas air matadan tindakan represif lainnya. Padahal apabila mengutip pernyataan dari Mahatma Gandhi bahwa “My nasionalism is humanity”. artinya bahwa untuk mendulang nilai-nilai nasionalisme, aparat mesti mengedepankan nilai-nilai humanisme. Represifitas adalah tindakan yang sangat tidak mencerminkan nilai kemanusiaandan pada dasarnya tidak dapat dibenarkan.
Sungguh miris melihat aparat yang kerap kali melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat sehingga menimbulkan rasa ketidak percayaanmasyarakat terhadap aparat. Terlebih karena masyarakatselalu membayar pajak dan pajak yang dibayarkan pun masuk kedalam gaji para aparat.Sinergitas antara aparat dengan masyarakat perlu terjalin hal ini bertujuan agar aparat dapat mengedukasi masyarakat sehingga menciptakan kesepahaman antara kedua belah pihak.
Barangkali faktor lain yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan oleh aparat karena mentalitas penegakan hukum, faktor hukum, serta ketidak beraniannya masyarakat/korban untuk melaporkan tindak kekerasan yang terjadi. Perlu adanya upaya pembentukan SDM aparat yang berkompeten agar tidak terjadinya perlakuan represif terhadap masyarakat dengan kata lain meskipun aparat merupakan para penegak hukum, bukan berarti mereka berhak semena-menaapalagi menggunakan senjata, karena pada dasarnya masyarakat kita bukanlah para penjajah.Represifitas mesti dikutuk apapun dalil pembenarannya oleh negera. Ciri khas demokrasi ialah kebebasan berpendapat, jika berpendapat saja dibungkam dan direpesi, artinya rezim sudah terlalu jauh melenceng dari kaidahnya. Penulis mengharapkan semoga berikutnya tidak terjadi lagi represifitas aparat kepada sipil, apalagi sampai menghilangkan nyawa dari warga negara. Kritik demi kritik seharusnya dihidupkan, dan negara mesti mengakomodir jaminan keamanan atas hal tersebut.
Kementrian Politik Hukum dan HAM.