BANALITAS KONSTITUSI OLEH PRESIDEN

Minggu, 12 Maret 2023 22:02 WIB   Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

 

30 Desember, sepertinya harus diperingati sebagai hari inkonstitusional Indonesia, karena di tanggal tersebut di tahun 2022, Presiden Republik Indonesia yang sangat terhormat dengan terang-terangan meludahi staats fundamental norm dan konstitusi bangsanya sendiri. Penetapan pejabat pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi tersebut atas Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja telah mencederai kesakralan konstitusi yang selama ini dijaga dan didekap dengan erat oleh segenap rakyat Indonesia, yang telah memberinya kekuasaan.

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau yang dikenal sebagai Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalil tersebut merupakan sebuah peraturan turunan dari Konstitusi kita, tepatnya pada pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dengan bunyi 

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”

Pemaknaan “Hal ihwal kegentingan yang memaksa,” telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni;

  • Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 
  • Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 
  • Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama.

Apabila dikomparasikan dengan apa yang dimuat dalam putusan Mahkamah konstitusi, perihal “Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang,” prof. Mahfud MD. membeberkan beberapa alasan yang menjadi latar belakang dari penciptaan Perppu Cipta Kerja, yaitu krisis ekonomi, krisis energi, dan geopolitik yang goncang. Namun, sebagaimana pendapat penulis akan “Hal ihwal kegentingan yang memaksa,” kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah sebagaimana yang dimaksud oleh prof. Mahfud MD. merupakan sebuah keadaan yang dipaksakan untuk ada. Realitas, yang demikian dikenal sebagai “Das sein” dalam bahasa hukum, pemaknaan akan “Hal ihwal kegentingan yang memaksa” selalu saja dipelintir dan disimpangkan dengan makna aslinya oleh sosok “Negarawan” itu banyak kesempatan. Sehingga frasa yang cocok, apabila disinkronisasikan antara das sollen dan das sein pada hukum yang dijalankan oleh sosok tertinggi di kekuasaan eksekutif tersebut, bukan lagi “Hal ihwal kegentingan yang memaksa,” tetapi “Hal ihwal memaksakan kegentingan.”

Dengan demikian, nyatalah adanya arogansi kekuasaan dari sang pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi itu dalam pembuatan Perppu, karena tafsir kegentingan yang memaksa merupakan tafsir subjektif, yang berimplikasi pada peraturan perundangan tersebut sudah kehilangan objek hukumnya. Sebagaimana yang penulis pelajari dalam dunia filsafat, bahwasannya setiap kata yang dikeluarkan dari otak-otak manusia itu telah memuat adanya kepentingan pribadi, termasuk kepentingan akan kekuasaan dan hawa nafsu.

Bersangkutan dengan prasyarat kedua akan pembentukan Perppu yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.”

Untuk menumbangkan argumentasi yang pro akan pembentukan Perppu Cipta Kerja, tentu syarat formil yang dikeluarkan oleh mahkamah konstitusi ini harus ditumbangkan dengan fakta atau realitas hukum yang ada. Pada faktanya, Perppu Cipta Kerja yang didahului dengan lahirnya UU Cipta Kerja merupakan rangkuman dari 82 UU yang diubah dan 2 UU yang dicabut dengan metode omnibus law. Dengan demikian, fakta hukum bahwa ada banyak UU yang sebelumnya mengatur multisektor pada ranah ekonomi menunjukkan bahwa frasa “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum,” sudah tumbang dengan sendirinya.

Frasa kedua yang mengatakan bahwa “Ada Undang-Undang tetapi tidak memadai,” tentu memiliki kekuatan yang lemah. Hal itu dibuktikan dengan ketika terbitnya UU Cipta Kerja, yang selanjutnya dicabut dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja, mendapatkan penolakan yang massif dari kalangan buruh dan kalangan akademisi. Maka dari itu, berdasarkan fakta di masyarakat, menurut masyarakat luas, sejatinya UU yang diubah dengan terbitnya UU a quo dan Perppu a quo masih relevan dan memadai dengan realitas sektor ekonomi di masyarakat.

Kedua argumentasi penulis tersebut, sudah dengan nyata menumbangkan dalil “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai,” yang menjadi salah satu latar belakang terbitnya Perppu Cipta Kerja yang dibuat secara sepihak dan dibagun dengan mentalitas yang banal dari kaum penguasa yang ditukangi oleh kalangan oligarki itu.

Prasyarat ketiga tentang pembentukan Perppu yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni “Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Untuk menyanggah prasyarat ketiga yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, tentu penulis harus menjelaskan apa makna dari kekosongan hukum secara terminologis dan membahas perihal awal kisah mengapa Perppu Cipta Kerja harus dibuat.

Kekosongan hukum dapat diartikan sebagai suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum yang mengatur tata tertib dalam masyarakat), sehingga kekosongan hukum dalam hukum positif lebih tepat dikatakan sebagai kekosongan undang-undang atau peraturan perundang-undangan.

Beralih pada topik awal kisah sang Penguasa menerbitkan Perppu Cipta Kerja. UU Cipta Kerja, yang menjadi awal kisah penerbitan Perppu Cipta Kerja, disahkan oleh DPR RI dan Presiden RI dengan gemuruh jerit rakyat yang menolak pengesahan UU a quo yang kemudian hingga sampai ke meja hijau Mahkamah Konstitusi. Proses peradilan yang mengabulkan uji formil atas UU Cipta Kerja dan berlangsung di kekuasaan yudikatif di bidang konstitusional menghasilkan beberapa amar putusan yang sangat krusial, diantaranya;

  • Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.
  • Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;

Menyusul keputusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa prosedur formal UU Cipta Kerja cacat. Cacat formal dalam pembentukan hukum memang menciptakan ketidakpastian hukum dalam banyak hal. Namun perlu ditegaskan bahwa ketidakpastian hukum tidak berarti terjadi kekosongan hukum, karena undang-undang yang terangkum secara utuh dalam sistem hukum omnibus law yang komprehensif masih dapat berlaku dengan batasan-batasan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan membersamai putusan Mahkamah Konstitusi yang lain, yakni memperbaiki UU a quo secara formilnya, dan selama UU a quo belum dinyatakan inkonstitusional permanen oleh Mahkamah Konstitusi. 

Alasan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum rupanya dijadikan alasan oleh sang Penguasa untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Alasan untuk ini mengejutkan banyak pihak karena Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan UU a quo cacat formil dan harus dikoreksi oleh DPR dan pemerintah, bukan malah mengeluarkan Perppu.

Pasca keluarnya Perppu Cipta kerja, menurut beberapa pakar hukum, sang Penguasa telah melanggar konstitusi karena tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi. Prof. Jimly Assidiqie menyebut Presiden mengabaikan peran kekuasaan legislatif dan yudikatif, dengan menyebutkan bahwa Perppu sebagai rule by law yang kasar dan arogan.

Disisi lain, selepas berbicara persyaratan formil pembentukan Perppu, Perppu Cipta Kerja merupakan “Pengganti dari UU Cipta Kerja,” tentu ini menjadi hal yang sangat kontroversi dalam sejarah perundang-undangan republik ini, bagaimana bisa UU ciptaker yang notabene bermasalah, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, malah diganti dengan Perppu, yang menurut beberapa pakar hukum tata negara, Perppu sendiri merupakan sisi otoriter dari demokrasi bangsa Indonesia?

Secara fundamental, Perppu Cipta Kerja, dalam pembuatannya, telah melanggar asas keterbukaan, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perppu Cipta Kerja yang dikeluarkan secara mendadak pada tanggal 30 Desember 2022. Mendadak yang dapat diartikan sebagai tanpa diduga atau secara tiba-tiba menunjukkan bahwasanya, sebagaimana yang dimaksudkan dalam asas keterbukaan, penciptaan Perpu Cipta Kerja tersebut dilakukan tanpa adanya pemantauan dan peninjauan yang dilakukan oleh masyarakat. Maka dari itu, Perppu Cipta Kerja telah merepresentasikan pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki asas keterbukaan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Maka dari itu, Perppu Cipta Kerja tidak dapat memenuhi seluruh prasyarat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dan tidak dapat memenuhi dari apa yang namanya asas keterbukaan. Perppu Cipta kerja adalah Perppu yang telah diciptakan oleh “Boneka” oligarki dengan metode yang serampangan dan dengan sengaja menabrak pagar pembatas, atas nama konstitusi. Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwasanya sang Penguasa telah meludahi dan menginjak-injak harkat dan martabat staats fundamental norm dan konstitusi bangsanya sendiri

Shared: