Sebuah tindakan sadis yang tak masuk akal yaitu melakukan sebuah korupsi untuk kepentingan pribadi demi mengenyangkan perut sendiri, sedangkan disisi lain saat ini rakyat sedang kelaparan dan mengalami penuruan ekonomi. Lebih parahnya lagi, hukuman yang dijatuhkan tersebut justru malah terkesan meringankan dan malah mendapatkan diskon besar-besaran.
Jika kita lihat kasus dari menteri sosial Juliari Batubara yang bermula dari adanya pengadaan bantuan sosial untuk penanganan kasus covid-19 yang berupa paket sembako di Kementrian Sosial tahun 2020. Jumlah dana yang digunakan untuk pengadaan ini sekitar Rp 5,9 Triliun.
Dalam hal ini kepada Juliari Batubara disangkakan pasal 12A dan 12B atau pasal 11 UU No 31 1999/diubah UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi JO pasal 55 ayat 1 KUHP. Secara hukum, hukuman yang disangkakan kepada Juliari sudah tepat namun dalam hal penafsiran hukum yang dilakukan yaitu dalam UU No 20 Tahun 2001 seharusnya Juliari diterapkan hukuman mati karena dalam sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 Tentang perubahan Undang-Undang No 31 tahun 1999.
Mengutip Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Sementara Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 Tentang perubahan Undang-Undang No 31 tahun 1999, berbunyi:
"Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."
Kenapa hukuman mati tersebut tidak dijatuhkan dan diterapkan kepada Juliari, pemerintah mengatakan melalui Mahfud “Menurut saya empat hal ini tidak langsung diterapkan secara definitif, Pertama, Negara dalam keadaan bahaya. Nah sekarang negara tidak dalam keadaan bahaya berdasarkan Undang-Undang. Kedua, sedang terjadi bencana alam nasional. Sedangkan sekarang ini yang terjadi pemerintah menyebut sebagai bencana non alam. Meskipun masyarakat beranggapan justru banyak pihak menyebut dampaknya lebih besar dibandingkan dengan bencana alam. Ketiga, negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Sekarang negara indonesia sedang resesi, hanya saja resesi tidak sama dengan krisis ekonomi.
Jika kita lihat bencana yang terjadi saat ini dimana banyak masyarakat yang sedang mengalami penurunan ekonomi dan dengan teganya Menteri Sosial melakukan sebuah tindakan tidak manusiawi yaitu memotong uang bansos dan melakukan sebuah korupsi di masa pandemi, tentunya hal tersebut sudah layak untuk dijatuhkan hukuman yang lebih berat dari hukuman yang didapatkan saat ini.
Dampak yang terjadi akibat bencana pandemi ini tentunya lebih besar dari pada bencana alam nasional, karena pada dasarnya mau bencana alam ataupun non alam jika menfasirkan maka seharusnya melihat dampak yang terjadi akibat dari bencana tersebut bukan malah menafsirkan terhadap redaksional kata bencana alam ataupun non alam. Jika kita lihat bencana non alam atau bencana wabah virus covid-19 ini dampaknya begitu besar terhadap masyarakat terutama dari segi ekonomi. Jika kita bandingkan bencana alam nasional dengan bencana akibat pandemi saat ini tentunya bencana akibat covid ini lebih besar sehingga sudah relevan jika dikaitkan dengan alasan untuk dilakukannya hukuman mati dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001.
Lalu pada pernyataan selanjutnya bahwasannya korupsi tersebut dilakukan disaat indonesia sedang mengalami resesi, secara nasional keseluruhan indonesia memang mengalami resesi ekonomi, namun jika dilihat dan di telaah bersama, maka krisis ekonomi pada masyarakat sebenarnya itu sudah terjadi yang mana banyak masyarakat mengalami pengurangan pendapatan akibat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan banyak yang di PHK dari perusahaan . Jika melihat hal tersebut sudah sewajarnya bahwa indonesia sudah mengalami krisis ekonomi yang terjadi di masyarakat.
Saat ini, bukan peraturannya yang tidak tegas, namun pihak-pihak yang melaksanakan hukum tersebutlah yang semena-mena. Hukum terkesan tak lagi adil dan tak lagi memberikan perlindungan karena ulah oknum-oknum penegak hukum yang salah langkah. Sebegitu tebalkah topeng pelindung mereka sehingga sudah tidak memperdulikan harkat, martabat, dan rasa malu ketika terlihat oleh publik sedang memanjakan hukuman bagi pejabat “penting” dan menekan tombol maksimal pada hukuman rakyat biasa? Tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
Melihat kondisi saat ini, mari bersama-sama luapkan rasa marah dan kecewa kita sebagai rakyat Indonesia dengan cara terus mengawasi dan mengkritik segala kebijakan pemerintah yang terasa janggal dan kawal terus kasus-kasus yang jelas merugikan kepentingan umum agar tidak ada lagi hukuman yang dikebiri. Pemerintah harus sadar diri dan mengoreksi sistem pengawasan dalam hal pemenuhan kepentingan umum, jangan mau kalah sama pengawas UTBK.
Sebuah tindakan korupsi terjadi atas sebuah kesadaran diri dan sifat tidak puas diri dari dalam manusia atau bisa disebut tamak. Orang-orang yang terlibat di dalamnya merupakan orang yang mempunyai intelektual tinggi entah si pelaku koruptornya itu sendiri atau yang mengadili, namun justru kenapa publik bertanya-tanya, kenapa semua hal ini bisa terjadi di negeri ini, singkat kata jawabannya adalah inilah jika negeri telah dikuasai oleh oligarki. (Risqi Fadjar dan Dea Rahmadani)